Ada tiga istilah dalam sebuah hadits yang biasa kita kenal yakni sanad, rawi dan matan. Dari ketiga itu sanad menempati posisi penting dalam studi hadits, karena dengan sanad ini akan dinilai keshahihan dan kedha’ifan atau palsunya sebuah hadits.
Artikel kali ini tidak akan membicarakan bagaimana sebuah sanad yang menjadi sandaran hadits itu kuat atau lemah, juga tidak membicarakan mana-mana sanad yang terbagus sampai yang sekedar bisa diterima, tapi sekedar mencoba mengetengahkan betapa pentingnya sanad ini dalam ilmu-ilmu Islam.
Rawi adalah orang yang menerima atau meriwayatkan suatu hadits. Misalnya al Bukhari, beliau juga disebut sebagai rawi, bila al Bukhari ini menerima suatu hadits dari gurunya maka sang guru ini juga disebut sebagai rawi dan seterusnya sampai ke shahabat kemudian Rasulullah.
Al Bukhari disebut sebagai rawi terakhir karena dialah yang menyampaikan terakhir dan membukukannya sedangkan shahabat disebut sebagai rawi pertama karena ia meriwayatkan langsung dari Rasulullah. Rawi juga biasa disebut rijal artinya orang-orang yang meriwayatkan haadits.
Sanad adalah adalah silsilah atau rangkain para rawi dari rawi awal sampai terakhir yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah. Rangkaian para rawi ini dimulai dari rawi terakhir, misalnya al Bukhari dan berakhir kepada rawi pertama shahabat. Maka dari sisi sanan,al Bukhari bisa disebut sebagai sanad pertama tetapi sebagai rawi terakhir, sedangkan shahabat disebut sebagai sanad terakhir tetapi sebagai rawi pertama.
Matan adalah adalah riwayat atau berita dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh para rawi dari awal sampai rawi terakhir.
Contoh hadits :
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: {{ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ }}. رواه البخاري
Bagian dalam kurung itulah yang disebut matan, dan bagian yang bergaris bawah itu disebut sebagai rawi yang rankaian ke semua rawi disebut sebagai sanad.
Karena sanad menempati kedudukan sedemikian penting dalam bangunan agama Islam maka banyak orientalis atau kalangan muslim yang meragukan dan hendak membuktikan keotentikan sanad ini. Bagi yang tidak suka dengan islam bisa terdorong motivasi untuk meruntuhkan bangunan Islam dari studinya terhadap sanad ini, dengan harapan bila mampu membuktikan kebohongan system sanad ia berharap mampu merobohkan bangunan Islam. Sarjana barat atau yang lebih dikenal sebagai orentalis, telah mengkaji masalah hadits ini selama dua abad, mereka juga menerbitkan hasil studi mereka, juga mengkritisi hadits-hadits ini.
Di kalangan orang yang sudah mempelajari hadits tentu mengenal Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzil Hadis Nabawi Penyusun kitab Dr. Arnold John Wensick (l.1882 dan w. 1939) dan teamnya, di Universitas Leiden, Belanda. Kitab ini diedit ulang oleh Fu’ad Abdul Baqi. Penulisan kitab ini dimaksudkan untuk memudahkan mencari hadis berdasarkan petunjuk lafazh matan hadis, sehingga bisa ditelusi ke kitab hadits induk mengenai sanad dan matan lengkapnya. Kitab mu’jam ini terdiri dari sekitar tujuh jilid dan dapat digunakan untuk mencari hadis-hadis yang terdapat dalam Sembilan kitab hadis, yakni Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan TIrmidzi, Sunan Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darimi, Muwatta Malik, dan Musnad Ahmad,
Bahkan ada juga yang mengetengahkan teori bahwa hadits tidak lebih dari sebuah produk perkembangan dimensi keagamaan, sejarah, dan social agama Islam pada dua abad pertamanya seperti yang diketengahkan oleh Ignaz Goldziher (l.1850 – w.1921). Maka hadits dengan sanadnya ini dianggap tidak lebih dari sekedar rekayasa perkembangan Islam untuk melembagakan bentuk ritual atau tatanan social Islam yang tidak bersumber langsung dari Rasulullah.
Perlunya Sanad
Imam Muslim dalam muqaddimah Shahih Muslim bab Bayan annal isnad minaddin, meriwayatkan sebagai berikut:
قال محمد إبن سيرين: “إن هذا العلم دين فانظروا عن من تأخذون دينكم”.
Pentingnya sanad sebagaimana dikemukakan Muhammad bin Sirin yang merupakan salah satu ulama besar,” sesungguhnya ilmu mengenai sanad ini merupakan bagian dari agama, maka hendaklah kalian lihat dari siapa kalian mengambil agama kalian”
Selanjutnya Imam Muslim menyebutkan, orang-orang dahulu tidak mempertanyaan sanad ini tetapi ketika terjadi masa menyebarnya fitnah, maka ketika ada orang yang membawakan suatu hadits, mereka mengatakan sebutkan siapa rawi/rijalnya, maka kemudian akan diteliti bila yang meriwayatkan itu merupakan ahlu sunnah maka haditsnya diterima dan akan dilihat pula bila yang membawa itu ternasuk alhul bid’ah yang suka mengada-adakan sendiri dalam agama maka haditsnya tidak diterima.
Zaman fitnah ini terjadi pada akhir hayat Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, pada tahun 608 H, di mana orang bernama al Muhktar bin Abi Ubaid ats Tsaqafi sebagai penguasa Kufah yang terkena pengaruh pemikiran Abdullah bin Saba’ yang mulai menyebarkan dan menebarkan kebohongan yang tiada tara dengan membuat hadits palsu, ditengah masyarakat karena ambisi kekuasaannya. Maka pada sebelum al Mukhtar ini, orang – orang tidak mempertanyakan sanad, tetapi pada masa inilah munculnya orang – orang yang mempertanyakaan sanad. Bahkan al Mukhtar juga membayar mahal orang – orang untuk memalsukan hadits sekehendak hatinya. Demikian seperti yang tertera dalam kitab Nasy atul Isnad wa Syumuluhu.
Sungguh Allah menjagakan agama ini dari kekacauan dengan sanad ini.
قال عبد الله إبن المبارك: “لولا الإسناد لقال من شاء مع شاء”.
و قال أيضاً رضي الله عنه: “السند كالسلم ترتقي به إلى البيت”.
Abdullah bin Mubarak mengatakan,” seandainya tidak karena sanad maka siapa saja akan gampang mengatakan apa saja yang dikehendakinya”. Juga dikatakan,” sanad ibarat tangga yang dengan itu bisa menaiki atas rumah”.
Sanad dipandang penting karena ia bagian dari agama sebagaimana ungkapan yang masyhur dikalangan ulama adalah bahwa sanad merupakan bagian dari agama karena dengan sanad bisa mengetahui mana hadits yang shahih dan mana hadits yang dha’if bahkan hadits yang palsu.
Bahkan masalah sanad ini sangat penting karena dimaksudkan untuk menjaga agama islam dan menjelaskan pemalsuan atau perusakan ajaran islam yang dilakukan oleh orang-orang yang yang ingin merusak islam dan orang-orang yang ingin membuat kebohongan atas nama nabi Muhammad. Dalam hal ini para ulama menggunakan sanad yang diakui oleh para ulama, yakni sanad yang bersambung hingga para sahabat dengan menggunakan ilmu rijal al hadits untuk meneliti dan menyeleksi akurasi hadits.
Ada sebuah kisah mengenai sanad ini, dikisahkan bahwa Amirul mukminin Harun al Rasyid menahan seorang pendusta besar, penyusup dan pemalsu hadits mengatasnamakan Rasululah. Ia mengada-adakan hadits yang tidak pernah disabdakan oleh rasulullah dan ia menyebarluaskannya ditengah masyarakat, karena sesungguhnya ia adalah orang kafir yang sengaja ingin merusak ajaran Islam. Harun al Rasyid menghukumnya agar di hokum mati. Ketika hendak dilaksanakan eksekusi hukuman mati, dihadapan orang banyak ia tertawa mengejek sambil mengatakan, “ hokum matilah aku, itu tidak masalah bagiku karena aku telah membuat hadits palsu apa yang aku mau”. Karena ia memang telah menyebarluaskan hadits palsu yang telah ia buat.
Kemudian, Harun al Rasyid ganti mentertawakannya sambil menjawab,” ya kamu tetap akan dihukum mati dan Sufyan At Tsauri nanti yang akan menyeleksi dan menyaringnya dengan ilmunya”.
Karena itu, maka sanad ini dpandang sebagai ciri khas dari umat Islam yang membedakan dengan umat lain baik sebelum atau sekarang ini.
Muhammad bin Hatim al Mudhofir mengatakan sesungguhya Allah telah memuliakan umat Islam ini, memberikan keutamaan dengan adanya sanad ini, karena sanad ini tidak ada pada umat manapun dulu dan sekarang selain umat Islam.
Bahkan Imam Nawawi mengatakan bahwa sanad ini merupakan hal yangn dituntut, merupakan hal yang berharga yang semestinya dipahami oleh ahli fiqih atau orang yang ingin mendalami Islam, dianggap tercela bila tidak mengetahuinya. Karena para guru dalam ilmu itu ibarat merupakan para bapak dalam agama yang menyampaikan antara dirinya dengan Allah.
Imama Syafi’I mengatakan, perumpamaan orang yang belajar hadits tetapi tanpa sanad ibarat orang bicara mengigau.Artinya pembicaraannya tidak dianggap berarti.
Abu bakar Muhammad bin Ahmad al Baghdadi mengatakan: ada sebuah kabar yang sampai kepada dirinya bahwa Allah memberi keistimewaan umat Islam ini dengan tiga hal yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya, tiga hal ini yakni: 1) sanad, 2) nasab/silsilah keturunan, 3) I’rab.
Dalam kaitannya dengan beragama kita, maka perlu sekali kita diera serba informasi bebas ini untuk menyaring keaslian ajaran Islam dari susupan atau perubahan dari mereka yang tidak bertanggung jawab sehingga Islam kita bisa terjaga dari paham kita dari penyelewengan akal dan nafsu. Maka merujuk kepada penjelasan – penjelasan ulama masa lampau yang sudah memberikan syarh hadits atau tafsir al qur’an ataupun dalam bentuk kitab – kitab fiqih sesungguhnya masih sangat relevan. Termasuk dalam hal ini adalah kehati – hatian untuk mengambil pendapat mengenai Islam baik dari kalangan muslim sendiri maupun yang bukan muslim tatkala mereka berbicara tentang Islam, kita tidak serta merta gegabah mengambilnya tanpa merujukkan kembali dengan pandangan yang sudah para ulama terdahulu.
Demikian pandangan para ulama mengenai sanad, sebagai sesuatu yang sangat dominan dalam menentukan otentikasi ajaran Islam.
MUTAWATIR
Ada istilah dalam hadits berkaitan dengan cara sampinya hadits kepada kita, dua istilah ini dalam ilmu hadits yang dikenal dengan Mutawatir dan Ahad. Mutawatir tidak disandingkan dengan shahih, hasan atau dha’if tapi disandingkan dengan Ahad. Memang dalam hadits, bila hadits itu mutawatir berarti shahih, Tidak selamanya hadits shahih itu mutawatir tetapi hadits mutawatir sudah tentu shahih.
Mutawatir itu artinya dalam istilah hadits sebagai berita yang diriwayatkan oleh orang banyak sehingga menurut adat kebiasaan umumnya diyakini tidak mungkin orang sedemikian banyak bersepakat untuk berbohong dengan berita yang dibawa itu.
Dalam keseharian misalnya dikatakan bahwa kemerdekaan Indonesia diprokalmirkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Berita kemerdekaan Indonesia ini mutawatir, tidak mungkin orang berbohong mengenai kebenaran beritanya, orang yang belakangan baru mendengar sekalipun tidak perlu menyelidi kebenaran berita ini.Hanya saja dalam hal – hal tertentu bisa jadi ada perbedaan detailnya mengenai berita ini.
Begitu pula halnya dengan kitab suci al Qur’an, ia diriwayatkan, dihapal, ditramisikan dari generasi ke generasi dalam jumlah besar sehingga tidak mungkin semuanya bersepakat dalam kebohongan, maka dari sisi sampainya al Qur’an kepada kita dengan cara demikian ini maka al Qur’an termasuk mutawatir, karenanya ia disebut qath’iyul wurud, artinya sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, pasti benarnya, tidak mungkin ada kebohongan sedikitpun.
Jadi kalau ada berita dari Rasulullah yang dibawa oleh banyak orang semenjak zaman sahabat hingga katakanlah al Bukhari dan diyakini bahwa karena banyaknya orang yang membawa berita itu mereka tidak mungkin berbohong maka hadits demikian ini dinamakan hadits mutawatir.
Adapaun Ahad dalam istilah ilmu hadits berarti kebalikan dari mutawatir, yakni hadis yang dibawa oleh seorang atau beberapa orang yang tidak mencapai jumlah mutawatir. Kebanyakan hadis dalam kategori ini.
Jumlah Hadits Mutawatir
Adapun dalam hadits mutawatir ini sangat sedikit jumlahnya, sehingga ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tidak lebih dari hitungan jari saja. Ini terutama hadits mutawatir lafdzi. Miskipun ada pula yang mengatakan lebih.
Adapun mutawatir ma’nawi bisa dikatakan banyak jumlahnya. bahkan dikatakan tidak terbatas pada jumlah tertentu. Perkara agama yang sudah pasti dimengerti ( ma’lumun minddin bidharurah ) kebanyakan termasuk mutawatir, adapun maksud ulama membatasi jumlah mutawatir adalah mutawatir lafdzi.
Contoh muatawatir ma’nawi ini misalnya hadits yang menjelaskan Rasulullah mengangkat tangan dalam berdo’a, hadits tentang hal ini mencapai sekitar 100 hadits tetapi dalam berbagai kesempatan berdoa, hanya saja jumlah riwayat yang menjelaskan dalam setiap peristiwanya itu tidak sampai mencapai derajat mutawatir.
Karena itulah kita katakan bahwa ada sekitar 310 hadits mutawatir ma’nawi sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Nadhmul Mutanatsirminal Haditsil Mutawatirkarya Muhammad bin Ja’far bin Idris al Kinani, bahkan dalam kitab ini disebutkan sejumlah hadits yang dikategorikan sebagai mutawatir berdasar kelompok bab tertentu. Misalnya dalam bab niat, hadits yang mengatakan bahwa niat itu tergantung amalnya termasuk mutawatir. Hadits dalam bab ilmu yang menyebutkan bahwa orang yang berdusta atas nama Rasulullah akan dimasukan neraka, juga hadits kewajiban mencari ilmu termasuk dalam hadits mutawatir. Hadits dalam bab Iman yang menyebutkan bahwa orang muslim adalah yang manakala kaum muslimin lainnya merasa aman di sisinya, juga hadits tentang bahwa Islam bermula sebagai sesuatu yang asing dan akan kembali sebagai sesuatu yang asing termasuk hadits mutawatir.
Dalam bab bersuci, hadits tentang kesucian air laut dan gosok gigi atau bersiwak juga termasuk hadits mutawatir. Juga hadits dalam bab puasa agar menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur termasuk pula hadits mutawatir.
Begitu pula hadits yang menceritakan tentang orang yang membangun masjid akan dibangunkan rumah di surga, hadits tentang mengusap khuf, hadits tentang syafa’ah, telaga di surga, melihat Allah di akherat dan kepemimpinan dari orang Quraisy.
Adapun mengenai jumlah hadits mutawatir lafdzi dalam kitab Luqath la ali fil ahaditsil mutawatirah karya az Zabidi menyebutkan ada 70 hadits mutawatir lafdzi, sedangkan dalam kitab al Hirzul maknun min lafdzil Ma’shum al Ma’mun karya al Qanuji menyebutkan ada 40 hadits mutawatir lafdzi ini.
Contoh mutawatir lafdzi yang banyak dijadikan contoh adalah misalnya:
“من كذب عليَّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار” ،
“نضَّر الله امرأً سمع مقالتي فوعاها، ثم أداها كما سمعها” ،
” من بنى لله مسجداً بنى الله له بيتاً في الجنة”
Selain diatas as suyuthi juga menulis kitab yang memuat hadits mutawatir ini yang diberi judul al Azhar al Mutanatsirah fil Akhbar al Mutawatirah.
Tentu penyebutan jumlah ini sebagai pengetahuan bagi kita, karena bisa jadi satu ulama dengan ulama yang berbeda – beda dalam memberikan jumlahnya maupun dalam mengklasifikasikan mana – mana yang dikategorikan sebagai mutawatir. Para ulama ini tentu memiliki dasar tersendiri dalam menentukan jumlah mutawatir ini.
Wallahu a’lam bish shawwab.